Sabtu, 14 April 2018

Menakar 10 Kefiktifan Sistem Demo-Crazy

Tanah air akan kembali didramatisasi dengan momentum produk demo-crazy, pemilu. Tiap-tiap kubu calon penguasa bergerigi meraup kuasa, tawar menawar suara. Politikus pemula hingga yang sudah lapuk mendadak lincah bertestimoni, tetiba fasih bicara “bangsa”. Siap-siap kata “rakyat” akan sering-sering disebut, siap-siap kata “rakyat” akan sering-sering terbaca di pamflet-pamflet kusut kurang menarik. Barangkali di KBBI perlu renovasi makna istilah “rakyat”. Definisi sebenarnya, rakyat adalah sasaran ilusi ter-empuk untuk narasi kampanye dan pencitraan. Fiksi. Unbelievable.

Masih terbilang jauh hari menuju momentum pilpres Agustus 2019 mendatang, namun masyarakat Indonesia malah sudah lebih awal terbagi atas empat kubu; kubu Jokowi, kubu Prabowo, kubu netral (yang penting nyoblos) dan kubu golputers (bisa karena pragmatis, bisa karena muak, bisa juga karena kepahaman).

Koalisi tim petahana -Jokowi- ternyata harus lebih bekerja ekstra menyajikan permainan sirkus angka-angka statistik agar kompilasi wajah perekonomian Indonesia terlihat sungguh-sungguh meroket seperti kata Pak Presiden tempo lalu. Entah meroket ke atas atau ke bawah. 

Sementara di kubu Prabowo, terlihat lebih legowo mematikan elektabilitas Jokowi dengan mengambil kesempatan bobroknya era rezim ini. Tak lupa memarakkan sosialiasi pertobatan dan adu kepantasan penobatan..

Menjelang pilkada, pileg, pilpres dan pil pil mematikan lainnya, panggung perpolitikan memang disemarakkan oleh banyak kesibukan. Sibuk pindah koalisi sana sini, sibuk menyusun anggaran serangan fajar, sibuk mengarang janji kampanye dan sibuk blusukan ke pasar-pasar. Jangankan menjelang pemilu, sehari setelah dilantiknya rezim penguasa, maka pertarungan untuk 5 tahun kedepan akan kembali dimulai. Begitulah seterusnya sampai air laut kering dikuras Abu Janda.

Padahal “siapa yang memimpin” tidak jauh lebih penting dari “sistem apa yang dipakai untuk memimpin”. Jika semua nurani mau mencoba jujur untuk mengkaji lalu mengesempingkan dahulu kesombongan intelektual diri, maka pastilah mereka akan mendapati bahwa Indonesia tidak begitu bermasalah dalam hal kecacatan figur, ia lebih banyak dirundung kebiadapan sistem.

Dari segi anggaran, penerapan demokrasi ini juga pilihan yang paling tepat untuk semakin menfakirkan negara-negara berkembang seperti Indonesia sekaligus membuka jalan penjajahan halus negara-negara multi kapitalis sekelas amerika dan china. Lekas lihat data yang dikeluarkan BI Bulan Februari lalu, utang luar negeri kita telah mencapai kurang lebih 4.800 trilyun, sedangkan indef buru-buru menampik bahwa utang kita sebenarnya sudah mencapai 7.000 trilyun. Siapapun yang benar, yang jelas kedua nominal tersebut bukan angka biasa, bukan angka aman.

Coba bung-bung semua fikirkan, utang luar negeri sudah segede gunung, rakyat sudah makin susah mengepulkan asap didalam dapur namun negara masih saja antusias menyelenggarakan metode pemilihan pemimpin berasas demokrasi kufur yang menghabiskan puluhan trilyunan uang negara tiap jangka lima tahun hanya demi mengganti figur yang tidak jauh berbeda, hanya demi melegalisasi sekomplotan orang untuk mengembalikan modal kampanye, merenovasi undang-undang lama, membuat kebijakan-kebijakan represif baru, melahirkan koruptor-koruptor baru. 

Sayangnya rakyat memilih ikhlas dijadikan objek penipuan berkelas bernama adu kursi kekuasaan. Banyak dari mereka yang malah menyemarakkan sistem idiot ini dengan berlomba-lomba menjadi manusia bertaklid buta, menjadi tim sukses agar sukses terkena cipratan jabatan kecil-kecilan juga uang. Ada juga warna rakyat yang memilih ga melek politik, yang penting kuliah dan kerjaan jalan, stok susu anak aman, paket data terisi. Siapa, pakai sistem apa dan bagaimana kerasnya adu perebutan kursi viral di DPR sana tak jadi soal. Saat kebijakan subsidi BBM dicabut, harga cilok meroket, barulah sempoyongan.

As crazy as it sound, memang beginilah rupa depan belakang politik tanah air kita. Entah kita adalah buruh, mahasiswa, pengangguran, pendidik, ibu dengan empat orang anak atau bahkan orang tidak waras sekalipun akan terkena cipratan hasil kebijakan politik.

Namun, serancu apapun sistemnya, penggiat demokrasi tentu akan buru-buru menyambung motilitas publik, menggelar debat-debat akbar bahwa kegaduhan sistem ini adalah hal yang biasa bagi negara-negara dengan umur penerapan demokrasi yang baru kemarin sore seperti Indonesia. Lalu pengharapan pada kesaktian demokrasi akan dikemas seilmiah mungkin dengan mengambil sampel-sampel amatiran dari negara-negara kiblat peradaban yang disinyalir sukses menerapkan akrobat demokrasi. Sudah terduga. 

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu orang-orang zalim" )QS.Al-Maidah: 45)

Demokrasi adalah kefiktifan, adalah imitasi komplek, tapi sangat popular di kehidupan nyata. Dari mana datangnya demokrasi? Yang jelas bukan dari mata turun ke hati. Ia datang dari kekufuran tinggi turun ke jiwa-jiwa umat Islam, dan sayangnya laku di pasaran. Berikut 10 kefiktifan demokrasi, disajikan untuk sesiapa saja yang mau ikut memprogreskan nalar bersama-sama penulis.


Kefiktifan pertama. Demokrasi  berasas pada jargon extra fiktif “from the people, by the people and for the people”. Dalam realitas penerapannya, ternyata lebih berwujud “dari rakyat, oleh rakyat, untuk penguasa dan pemilik modal”. Rakyat seolah memiliki wewenang untuk mengontrol jalannya pemerintahan dengan memilih pemimpinnya, padahal, kontrol pada pemerintahan itu hanyalah imajinasi yang terlalu diliar-liarkan. Publik tidak sedikitpun mengontrol. Utopis.

Kefiktifan kedua. Demokrasi disinyalir menampung aspirasi mayoritas masyarakat. Coba seret ingatan sesekali ke belakang, berapa banyak negara-negara dengan mayoritas muslim yang menginginkan diberlakukannya hukum jinayat tapi selalu tertolak dengan alasan kefinalan konstitusi. Demokrasi tidak akan pernah memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk bisa mengeksplor kekaffahan Islamnya. Sejatinya demokrasi adalah amerikanisasi, karenanya demokrasi hanya meloloskan aspirasi yang sesuai dengan saringan amerika saja. Setiap tahun Amerika bahkan mengadakan perhelatan penilaian dan evalusi kritis terhadap proses demokrasi di setiap negara-negara pengikut kekufuran ini. Artinya, rangkaian kehidupan berdemokrasi harus sesuai dengan standar yang diberlakukan Amerika.

Kefiktifan ketiga, suara rakyat terwakili oleh dewan-dewan perwakilan yang dipilihnya sendiri. Wakil-wakil dengan kewenangan legislatif tersebut membentuk parlemen yang dianggap sebagai bentuk representasi keinginan publik. Betapa ini adalah rekayasa beruntun yang pasti disadari oleh orang-orang yang mau berfikir. Parlemen perwakilan rakyat sama sekali tidak menyusun hukum dan perundang-undangan, mereka juga bahkan tidak membentuk kabinet pemerintahan. Semua ada dalam komando eksekutif. Parlemen perwakilan rakyat hanya membubuhkan tanda tangan persetujuan demi kenampakan formalitas. Tidak akan pernah mungkin segelintir orang dalam parlemen mengikuti kemauan keseluruhan rakyat. Rakyat tidak akan pernah sedikitpun terwakili.

Kefiktifan keempat, sejarah shahih kemunculan demokrasi mengungkapkan bahwa demokrasi sebenarnya lahir dari pemberontakan manusia yang lengah pada penindasan pemerintahan oligarki ataupun monarki. Mereka ingin keluar dari sistem kepemimpinan yang dzalim dan otoriter, membuang tirani. Akhirnya para filosof dan pemikir barat mengusung sistem demokrasi sebagai reaksi melawan penindasan. Namun sejak masa Plato, demokrasi sudah digugat. Menurut tokoh filsafat itu, sesungguhnya demokrasilah yang merangsang dan menyebabkan terciptanya tirani. Demokrasi sama halnya dengan tirani, hanya saja sistem ini cakap bermodus kedaulatan rakyat.

Kefiktifan kelima. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al-haakim) untuk memberikan penilaian baik buruknya sesuatu adalah akal manusia. Demokrasi adalah buatan manusia dan berasas pada kedaulatan manusia. Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan kepada rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW. Kepengaturan manusia yang terbaik pastilah berasal dari pencipta manusia itu sendiri, bukan berhukum dengan produk buatan makhluk.

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Qs. Al-Maidah : 50)

Kefiktifan keenam, demokrasi adalah bagian dari Islam. Bagaimana mungkin demokrasi adalah bagian dari Islam sedangkan demokrasi membungkam penerapan Islam itu sendiri. Benar, bahwa demokrasi menawarkan umat dengan kebebasan shalat, melaksanakan haji, menutup aurat, sekalipun pada lini lain khususnya penerapan daulah islam tidak akan pernah diberi ruang. Akan tetapi dengan kebebasan itu, kaum muslimin juga dibebaskan untuk tidak shalat, untuk tidak puasa, tidak berzakat dan tidak menutup aurat. Dengan kata lain, negara berlepas tangan terhadap akidah ummat. Kesalahan fatal sampai pada hari ini adalah anggapan demokrasi sama halnya dengan syura. Keduanya sangat berbeda dalam hal prinsip, makna, sumber dan konsep. Dalam kitab Abdul Qadim Zallum (1990) dituliskan ”Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra`y). Sedangkan demokrasi, adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem [pemerintahan] ...”

Kefiktifan ketujuh. Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Dalam demokrasi, orang sekriminal dan segila apapun bisa jadi pemimpin kalau dia mengungguli suara, kebijakan seotoriter apapun dapat disahkan. Suara terbanyak belum tentu baik, suara tersedikit belum tentu jelek. Lagipula narasi yang mengatakan “pemilu tanpa kecurangan” adalah kebohongan primordial. Inilah kerancuan sistem ini, untuk persoalan penting seputar kepengurusan ummat dan negara disandarkan pada keberuntungan, pada nasib. Sedang dalam Islam, untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan suara mayoritas.

Kefiktifan kedelapan. Demokrasi menciptakan kesetaraan sosial karena semua masyarakat memiliki hak pilih dan wewenang untuk mengatur urusan kenegaraan. Really? Dua produk terbaik dari demokrasi justru adalah liberalisme dan kapitalisme. Demokrasi melahirkan kebebasan juga sekaligus membuka jalan para pemilik modal untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Kebijakan impor pangan dan tenaga kerja asing tanpa kegentingan, serta diberlakukannya pasar bebas adalah wujud dari permainan politik international berasas demokrasi. Amerika Serikat sebagai negara adidaya adalah pencetus demokrasi dan berhasil mengekspornya ke seluruh dunia sebagai alat untuk memperlancar liberalisasi perdagangan dan investasi. Dalam skala nasional, hal ini dapat diterawang dengan massifnya para pengusaha masuk ke jajaran kekuasaan/legislatif. Artinya, para kapitalis ingin ikut menentukan arah kebijakan politik agar mudah mengumpulkan properti SDA.

Kefiktifan kesembilan, demokrasi adalah jalan mengharmonikan pluralitas, menyatukan pendapat atas kemajemukan suku, agama, ras dan budaya. Coba adakan perbandingan sejarah shahih, peradaban mana yang paling mengayomi pluralitas? Mereka bilang peradaban barat adalah kedamaian. Nyatanya tidak ada bedanya dengan kolonial terang-terangan. Negara-negara muslim terampas hak ketenangan hidupnya, dunia diam, negara pengikut demokrasi dengan mayoritas muslim didalamnya lebih diam. Nasionalisme memecah ummat. Orang-orang menjadi lebih tergerak karena cinta bangsa ketimbang karena aqidahnya pada Islam. Kalau demokrasi adalah obat bagi pluralitas, mengapa saat umat Islam menjadi minoritas mereka dibombardir tajam, dan saat jadi mayoritas mereka harus over toleran?

Kefiktifan kesepuluh, demokrasi adalah jalan bagi negara manapun untuk menguatkan perekonomiannya. Ini lebih fiktif lagi. Banyak negara makmur didunia yang bahkan menerapkan sistem yang dinyana sebagai sistem terprimitif didunia, monarki seperti Qatar, Luxembourg, Brunei Darussalam, Kuwait dan lainnya. Bahkan Singapura yang memiliki sistem pemerintahan yang stabil tidak melaksanakan pemilu secara langsung, mereka memakai sistem demokrasi perwakilan. Faktanya, didunia ini banyak sistem-sistem produk akal yang dalam pandangan mata manusia telah berhasil menguatkan perekonomian beberapa negara, juga sekaligus memporak-porandakan kekayaan beberapa negara lainnya.

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu  dan mengerjakan  amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan berkuasa orang-orang sebelum mereka………” (QS. An-Nur:55)

-------------------------------------------
Setelah menyimak 10 kefiktifan sistem demo-crazy, anda masih ingin menjadi bagian dari orang-orang yang menyemarakkannya, menerapkannya dan melegalkannya? Kembali kepada daulah Islam, melaksanakan kehidupan yang merawat akal realistis secara paripurna dibawah naungan nash-nash syara’. (Dibahas pada tulisan selanjutnya)

Bumi ini milik Allah, sebagaimana Indonesia ini milik Allah, maka tidak ada hukum melainkan hukum-hukum Allah.. 

Walllahu a’lam bish-shawab..

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger