Tanah
air akan kembali didramatisasi dengan momentum produk demo-crazy, pemilu. Tiap-tiap
kubu calon penguasa bergerigi meraup kuasa, tawar menawar suara. Politikus
pemula hingga yang sudah lapuk mendadak lincah bertestimoni, tetiba fasih
bicara “bangsa”. Siap-siap kata “rakyat” akan sering-sering disebut, siap-siap
kata “rakyat” akan sering-sering terbaca di pamflet-pamflet kusut kurang
menarik. Barangkali di KBBI perlu renovasi makna istilah “rakyat”. Definisi
sebenarnya, rakyat adalah sasaran ilusi ter-empuk untuk narasi kampanye dan
pencitraan. Fiksi. Unbelievable.
Masih
terbilang jauh hari menuju momentum pilpres Agustus 2019 mendatang, namun masyarakat
Indonesia malah sudah lebih awal terbagi atas empat kubu; kubu Jokowi, kubu Prabowo,
kubu netral (yang penting nyoblos) dan kubu golputers (bisa karena pragmatis,
bisa karena muak, bisa juga karena kepahaman).
Koalisi
tim petahana -Jokowi- ternyata harus lebih bekerja ekstra menyajikan permainan sirkus
angka-angka statistik agar kompilasi wajah perekonomian Indonesia terlihat
sungguh-sungguh meroket seperti kata Pak Presiden tempo lalu. Entah meroket ke
atas atau ke bawah.
Sementara
di kubu Prabowo, terlihat lebih legowo mematikan elektabilitas Jokowi dengan
mengambil kesempatan bobroknya era rezim ini. Tak lupa memarakkan sosialiasi
pertobatan dan adu kepantasan penobatan..
Menjelang
pilkada, pileg, pilpres dan pil pil mematikan lainnya, panggung perpolitikan memang
disemarakkan oleh banyak kesibukan. Sibuk pindah koalisi sana sini, sibuk
menyusun anggaran serangan fajar, sibuk mengarang janji kampanye dan sibuk
blusukan ke pasar-pasar. Jangankan menjelang pemilu, sehari setelah dilantiknya
rezim penguasa, maka pertarungan untuk 5 tahun kedepan akan kembali dimulai.
Begitulah seterusnya sampai air laut kering dikuras Abu Janda.
Padahal
“siapa yang memimpin” tidak jauh lebih penting dari “sistem apa yang dipakai untuk
memimpin”. Jika semua nurani mau mencoba jujur untuk mengkaji lalu mengesempingkan
dahulu kesombongan intelektual diri, maka pastilah mereka akan mendapati bahwa
Indonesia tidak begitu bermasalah dalam hal kecacatan figur, ia lebih banyak
dirundung kebiadapan sistem.
Dari
segi anggaran, penerapan demokrasi ini juga pilihan yang paling tepat untuk
semakin menfakirkan negara-negara berkembang seperti Indonesia sekaligus
membuka jalan penjajahan halus negara-negara multi kapitalis sekelas amerika
dan china. Lekas lihat data yang dikeluarkan BI Bulan Februari lalu, utang luar
negeri kita telah mencapai kurang lebih 4.800 trilyun, sedangkan indef
buru-buru menampik bahwa utang kita sebenarnya sudah mencapai 7.000 trilyun.
Siapapun yang benar, yang jelas kedua nominal tersebut bukan angka biasa, bukan
angka aman.
Coba
bung-bung semua fikirkan, utang luar negeri sudah segede gunung, rakyat sudah makin
susah mengepulkan asap didalam dapur namun negara masih saja antusias
menyelenggarakan metode pemilihan pemimpin berasas demokrasi kufur yang
menghabiskan puluhan trilyunan uang negara tiap jangka lima tahun hanya demi mengganti
figur yang tidak jauh berbeda, hanya demi melegalisasi sekomplotan orang untuk
mengembalikan modal kampanye, merenovasi undang-undang lama, membuat
kebijakan-kebijakan represif baru, melahirkan koruptor-koruptor baru.
Sayangnya
rakyat memilih ikhlas dijadikan objek penipuan berkelas bernama adu kursi kekuasaan.
Banyak dari mereka yang malah menyemarakkan sistem idiot ini dengan berlomba-lomba
menjadi manusia bertaklid buta, menjadi tim sukses agar sukses terkena cipratan
jabatan kecil-kecilan juga uang. Ada juga warna rakyat yang memilih ga melek
politik, yang penting kuliah dan kerjaan jalan, stok susu anak aman, paket data
terisi. Siapa, pakai sistem apa dan bagaimana kerasnya adu perebutan kursi
viral di DPR sana tak jadi soal. Saat kebijakan subsidi BBM dicabut, harga
cilok meroket, barulah sempoyongan.
As
crazy as it sound, memang beginilah rupa depan belakang politik tanah air kita.
Entah kita adalah buruh, mahasiswa, pengangguran, pendidik, ibu dengan empat orang
anak atau bahkan orang tidak waras sekalipun akan terkena cipratan hasil
kebijakan politik.
Namun,
serancu apapun sistemnya, penggiat demokrasi tentu akan buru-buru menyambung
motilitas publik, menggelar debat-debat akbar bahwa kegaduhan sistem ini adalah
hal yang biasa bagi negara-negara dengan umur penerapan demokrasi yang baru
kemarin sore seperti Indonesia. Lalu pengharapan pada kesaktian demokrasi akan
dikemas seilmiah mungkin dengan mengambil sampel-sampel amatiran dari
negara-negara kiblat peradaban yang disinyalir sukses menerapkan akrobat
demokrasi. Sudah terduga.
Dan
barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka
mereka itu orang-orang zalim" )QS.Al-Maidah: 45)
Demokrasi
adalah kefiktifan, adalah imitasi komplek, tapi sangat popular di kehidupan
nyata. Dari mana datangnya demokrasi? Yang jelas bukan dari mata turun ke hati.
Ia datang dari kekufuran tinggi turun ke jiwa-jiwa umat Islam, dan sayangnya
laku di pasaran. Berikut
10 kefiktifan demokrasi, disajikan untuk sesiapa saja yang mau ikut memprogreskan
nalar bersama-sama penulis.
Kefiktifan pertama.
Demokrasi berasas pada jargon extra fiktif “from the people, by the people and for the people”. Dalam realitas
penerapannya, ternyata lebih berwujud “dari rakyat, oleh rakyat, untuk penguasa
dan pemilik modal”. Rakyat seolah memiliki wewenang untuk mengontrol
jalannya pemerintahan dengan memilih pemimpinnya, padahal, kontrol pada
pemerintahan itu hanyalah imajinasi yang terlalu diliar-liarkan. Publik tidak sedikitpun
mengontrol. Utopis.
Kefiktifan kedua.
Demokrasi disinyalir menampung aspirasi mayoritas masyarakat. Coba seret ingatan
sesekali ke belakang, berapa banyak negara-negara dengan mayoritas muslim yang
menginginkan diberlakukannya hukum jinayat tapi selalu tertolak dengan alasan
kefinalan konstitusi. Demokrasi tidak
akan pernah memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk bisa mengeksplor kekaffahan Islamnya. Sejatinya demokrasi adalah amerikanisasi, karenanya demokrasi hanya meloloskan aspirasi yang sesuai dengan saringan amerika saja. Setiap tahun Amerika bahkan mengadakan
perhelatan penilaian dan evalusi kritis terhadap proses demokrasi di setiap negara-negara
pengikut kekufuran ini. Artinya,
rangkaian kehidupan berdemokrasi harus
sesuai dengan standar yang diberlakukan Amerika.
Kefiktifan
ketiga, suara rakyat terwakili oleh
dewan-dewan perwakilan yang dipilihnya sendiri. Wakil-wakil dengan kewenangan
legislatif tersebut membentuk parlemen yang dianggap sebagai bentuk
representasi keinginan publik. Betapa ini adalah rekayasa beruntun yang pasti disadari
oleh orang-orang yang mau berfikir. Parlemen perwakilan rakyat sama sekali
tidak menyusun hukum dan perundang-undangan, mereka juga bahkan tidak membentuk
kabinet pemerintahan. Semua ada dalam komando eksekutif. Parlemen perwakilan
rakyat hanya membubuhkan tanda tangan persetujuan demi kenampakan formalitas.
Tidak akan pernah mungkin segelintir orang dalam parlemen mengikuti kemauan keseluruhan
rakyat. Rakyat tidak akan pernah sedikitpun terwakili.
Kefiktifan
keempat, sejarah shahih kemunculan
demokrasi mengungkapkan bahwa demokrasi sebenarnya lahir dari pemberontakan manusia
yang lengah pada penindasan pemerintahan oligarki ataupun monarki. Mereka ingin
keluar dari sistem kepemimpinan yang dzalim dan otoriter, membuang tirani. Akhirnya
para filosof dan pemikir barat mengusung sistem demokrasi sebagai reaksi melawan
penindasan. Namun sejak masa Plato, demokrasi sudah digugat. Menurut tokoh
filsafat itu, sesungguhnya demokrasilah yang merangsang dan menyebabkan
terciptanya tirani. Demokrasi sama halnya dengan tirani, hanya saja sistem ini
cakap bermodus kedaulatan rakyat.
Kefiktifan kelima. Dalam demokrasi, yang
menjadi pemutus (al-haakim) untuk memberikan penilaian baik buruknya
sesuatu adalah akal manusia. Demokrasi adalah buatan manusia dan berasas pada
kedaulatan manusia. Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam
hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan kepada rasul-Nya, Nabi
Muhammad SAW. Kepengaturan manusia yang terbaik pastilah berasal dari pencipta
manusia itu sendiri, bukan berhukum dengan produk buatan makhluk.
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka
kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin?” (Qs. Al-Maidah : 50)
Kefiktifan keenam, demokrasi adalah bagian
dari Islam. Bagaimana mungkin demokrasi adalah bagian dari Islam sedangkan
demokrasi membungkam penerapan Islam itu sendiri. Benar, bahwa demokrasi
menawarkan umat dengan kebebasan shalat, melaksanakan haji, menutup aurat,
sekalipun pada lini lain khususnya penerapan daulah islam tidak akan pernah diberi
ruang. Akan tetapi dengan kebebasan itu, kaum muslimin juga dibebaskan untuk tidak
shalat, untuk tidak puasa, tidak berzakat dan tidak menutup aurat. Dengan kata
lain, negara berlepas tangan terhadap akidah ummat. Kesalahan fatal sampai pada
hari ini adalah anggapan demokrasi sama halnya dengan syura. Keduanya sangat
berbeda dalam hal prinsip, makna, sumber dan konsep. Dalam
kitab Abdul Qadim Zallum (1990) dituliskan
”Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat
(thalab ar-ra`y). Sedangkan demokrasi, adalah suatu pandangan hidup dan
kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem
[pemerintahan] ...”
Kefiktifan ketujuh. Demokrasi memutuskan
segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Dalam demokrasi,
orang sekriminal dan segila apapun bisa jadi pemimpin kalau dia mengungguli
suara, kebijakan seotoriter apapun dapat disahkan. Suara terbanyak belum tentu
baik, suara tersedikit belum tentu jelek. Lagipula narasi yang mengatakan “pemilu
tanpa kecurangan” adalah kebohongan primordial. Inilah kerancuan sistem ini,
untuk persoalan penting seputar kepengurusan ummat dan negara disandarkan pada
keberuntungan, pada nasib. Sedang dalam Islam, untuk masalah yang berkaitan
dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan suara mayoritas.
Kefiktifan
kedelapan. Demokrasi menciptakan kesetaraan sosial karena semua
masyarakat memiliki hak pilih dan wewenang untuk mengatur urusan kenegaraan.
Really? Dua produk terbaik dari demokrasi justru adalah liberalisme dan
kapitalisme. Demokrasi melahirkan kebebasan juga sekaligus membuka jalan para
pemilik modal untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Kebijakan impor pangan
dan tenaga kerja asing tanpa kegentingan, serta diberlakukannya pasar bebas
adalah wujud dari permainan politik international berasas demokrasi. Amerika Serikat sebagai negara adidaya adalah
pencetus demokrasi dan berhasil mengekspornya ke seluruh dunia sebagai alat untuk memperlancar liberalisasi perdagangan dan
investasi. Dalam skala nasional, hal ini dapat diterawang dengan massifnya
para pengusaha masuk
ke jajaran kekuasaan/legislatif.
Artinya, para kapitalis ingin
ikut menentukan arah kebijakan politik
agar mudah mengumpulkan properti SDA.
Kefiktifan kesembilan,
demokrasi adalah jalan mengharmonikan pluralitas, menyatukan pendapat atas
kemajemukan suku, agama, ras dan budaya. Coba adakan perbandingan sejarah
shahih, peradaban mana yang paling mengayomi pluralitas? Mereka bilang
peradaban barat adalah kedamaian. Nyatanya tidak ada bedanya dengan kolonial terang-terangan.
Negara-negara muslim terampas hak ketenangan hidupnya, dunia diam, negara pengikut
demokrasi dengan mayoritas muslim didalamnya lebih diam. Nasionalisme memecah
ummat. Orang-orang menjadi lebih tergerak karena cinta bangsa ketimbang karena
aqidahnya pada Islam. Kalau demokrasi adalah obat bagi pluralitas, mengapa saat
umat Islam menjadi minoritas mereka dibombardir tajam, dan saat jadi mayoritas mereka
harus over toleran?
Kefiktifan kesepuluh,
demokrasi adalah jalan bagi negara manapun untuk menguatkan perekonomiannya.
Ini lebih fiktif lagi. Banyak negara makmur didunia yang bahkan menerapkan
sistem yang dinyana sebagai sistem terprimitif didunia, monarki seperti Qatar,
Luxembourg, Brunei Darussalam, Kuwait dan lainnya. Bahkan Singapura yang
memiliki sistem pemerintahan yang stabil tidak melaksanakan pemilu secara
langsung, mereka memakai sistem demokrasi perwakilan. Faktanya, didunia ini banyak
sistem-sistem produk akal yang dalam pandangan mata manusia telah berhasil
menguatkan perekonomian beberapa negara, juga sekaligus memporak-porandakan kekayaan
beberapa negara lainnya.
“Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal saleh
bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana
Dia telah menjadikan berkuasa orang-orang sebelum mereka………” (QS. An-Nur:55)
-------------------------------------------
Setelah
menyimak 10 kefiktifan sistem demo-crazy, anda masih ingin menjadi bagian dari
orang-orang yang menyemarakkannya, menerapkannya dan melegalkannya? Kembali
kepada daulah Islam, melaksanakan kehidupan yang merawat akal realistis secara
paripurna dibawah naungan nash-nash syara’. (Dibahas pada tulisan selanjutnya)
Bumi
ini milik Allah, sebagaimana Indonesia ini milik Allah, maka tidak ada hukum
melainkan hukum-hukum Allah..
Walllahu
a’lam bish-shawab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar