(Tulisan ini telah
dibukukan dalam "Wacana Mahasiswa Pascasarjana IPB untuk Pertanian
dan Pedesaan Indonesia" oleh IPB Press)
Pedesaan dan pertanian merupakan dua hal
konformitas yang tidak bisa dipisahkan. Sebagaimana definisi pedesaan dalam UU Nomor
6 Tahun 2014 bahwa kawasan pedesaan merupakan kawasan yang mempunyai kegiatan
utama pertanian. Dari definisi ini menjelaskan secara absolut bahwa desa tidak
lagi memiliki legalitas untuk disebut sebagai kawasan pedesaan apabila memiliki
kegiatan utama bukan yang berprospek di bidang pertanian.
Dalam 10 tahun terakhir terjadi
kemunduran yang eksplisit di rana pembangunan pertanian Indonesia. Pedesaan
berangsur-angsur kehilangan fungsi muasalnya sebagai penyokong hasil pertanian
dan juga sebagai mitra perwujudan kedaulatan pangan. Artinya, mulai bermunculan
wilayah berstatus administratif desa namun hakikatnya tidak berasaskan ciri
kawasan pedesaan. Kawasan bermanuskrip “tanpa nama” seperti ini biasanya
cenderung berada dalam zona perbatasan desa dan kota dimana ekspansi kota yang
sarat dengan desakan lahan menjadi sangat kuat terhadap wilayah sekitarnya.
Hal yang dapat meredam sedikit
kekhawatiran dari kemunduran aset pertanian ini yakni kenyataan bahwa Indonesia
yang disematkan dengan sebutan “Negara Agraris” ini masih merupakan salah satu
dari 25 negara dengan kekayaan aset pertanian terbesar di dunia. Kekayaan ini
dilandaskan pada luas daratan wilayah Indonesia yang merupakan penyuplai 1,5%
dari total luas daratan di bumi. Maka pada dasarnya, objek kekayaan pertanian
nomor satu di indonesia adalah ketersediaan lahan.
Akan tetapi, ketersedian lahan pertanian
justru mengalami penyusutan dari tahun ke tahun khususnya di daerah Jawa. Data BPS
menyebutkan bahwa dalam setiap tahun terjadi kehilangan lahan pertanian di
Indonesia hingga mencapai 80-100 ribu hektar. Stagnansi luas lahan pertanian di
beberapa daerah pun bukan menjadi sebuah kabar baik karena kebutuhan pangan
akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang signifikan.
Kegentingan konversi lahan yang terus
mengancam stabilitas ekonomi sangat berdampak besar pada intensitas masa dan
kuantitas kebutuhan impor di Indonesia yang semakin jauh dari harapan
kemandirian pangan, padahal jenis kriminalitas konversi lahan ini telah diatur
dalam regulasi UU Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan dan sejumlah aturan turunannya yang diterbitkan pada tahun
2012. Namun lahan pertanian masih saja marak dialih-fungsikan menjadi kawasan
industri, lapangan golf, perumahan real
estate dan pabrik. Pemerintah gagal menjaga komitmen tata ruang.
Sayangnya, data luas lahan pertanian
berbanding lurus dengan jumlah sumber daya petani. Berdasarkan data Kementerian
Pertanian RI, telah terjadi pergeseran tenaga kerja pertanian ke non-pertanian
lebih dari lima persen tiap tahunnya. Minat masyarakat untuk menjadi petani
semakin merosot sehingga profesi ini dapat mencapai kepunahan akibat kurangnya
generasi penerus petani. Selain itu, lulusan jurusan ataupun lembaga pendidikan
tinggi pertanian cenderung memilih bekerja di sektor non-pertanian. Di beberapa
daerah di Indonesia, menjadi petani tidak lagi menjanjikan kesejahteraan.
Alhasil petani yang didalam dirinya terbentuk pola pikir seperti ini akan
dengan sangat mudah melakukan transaksi serah lahan kepada investor.
Dari pengkajian berbagai problematika tersebut
mengindikasikan bahwa perlu dilakukan upaya penanganan yang tepat sasaran. Sejauh
ini, pemerintah telah menfokuskan kinerja pembangunan sektor pertanian dengan
meningkatkan penggunaan alat mesin pertanian (Alsintan) yang mempercepat waktu
budidaya tanaman, minimalisasi tenaga kerja, serta lahan. Teknologi dianggap
mampu meningkatkan hasil pertanian sekalipun lahan dan SDM tidak lagi memadai. Menariknya
tidak satu pun negara-negara maju di dunia ini yang menggantungkan sektor
pertaniannya pada lini mekanisasi. Maka, satu-satunya solusi untuk mencapai
stabilitas pertanian adalah dengan menerapkan sebuah konsep pendekatan
pembangunan pertanian secara menyeluruh baik dari aspek lahan, SDM, hingga
tekhnologi di wilayah dengan status fungsional “penyokong hasil pangan”- desa.
Penggalakan Pendekatan Agropolitan Secara Terukur, Analisatif dan Massif dapat Menekan Kegentingan Persoalan Pertanian di Indonesia (Source : Google Image) |
Konsep agropolitan merupakan sebuah konsep
menata ruang pertanian sebagai aktivitas pembangunan yang berkonsentrasi di
wilayah perdesaan secara terpadu dan berkelanjutan. Agro berarti pertanian dan politan berarti kota, sehingga
agropolitan adalah kota pertanian. Dalam konsep agropolitan yang dicetuskan
oleh Friedmann dan Douglass (1976) ini sebenarnya bertumpu pada memodifikasi
kawasan desa sehingga memiliki kelayakan infrastuktur dan lapangan pekerjaan seperti
halnya dikota tanpa mengubah wajah desa itu sendiri yakni tetap berbasis
pertanian. Pertanyaannya, relevankah jika konsep agropolitan ini diterapkan di
seluruh wilayah pedesaan di Indonesia?
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi
alasan relevannya konsep agropolitan jika diterapkan di Indonesia meliputi aspek
fisik wilayah yang bersubstansial agraris, sumber daya manusia dengan skill pertanian yang mumpuni serta
berdasarkan problematika kesenjangan desa dan kota yang menjadi bukti bahwa
butuhnya desa dengan upaya kebangkitan ekonomi tanpa harus mengganti hakikat
pedesaan menjadi area industri berat atau tanpa harus menggencarkan aktifitas
rantauan ke kota.
Sejauh ini, beberapa wilayah desa di
Indonesia mulai mengilhami titik awal konsep agropolitan dalam membangun desa. Seperti
misalnya Kabupaten Magelang yang melakukan pembangunan sektor
pertanian, sektor industri berbasis pertanian dan sektor agrowisata sebagai
tiga sektor unggulan yang disinergikan. Sinergi ketiga sektor tersebut
melahirkan kegiatan ekonomi berbasis pertanian yang mampu meningkatkan kesejahateraan
melalui jalur pertanian. Selain itu di Kabupaten Sidrap sebagai daerah pemasok
produksi pangan terbesar di Sulawesi Selatan dimana pemerintah menggencarkan
pembangunan desa menjadi kota-kota pertanian dalam rangka upaya
untuk membantu mewujudkan program swasembada pangan Nasional.
Permulaan penerapan konsep agropolitan di
beberapa wilayah di Indonesia mampu menekan angka konversi lahan pertanian.
Dengan agropolitan, pertanian mulai dianggap sebagai sektor berkelas yang dapat
meminimalisir angka kemiskinan di desa. Perlu diketahui bahwa konsep
agropolitan tidak hanya menekankan pada peningkatan produksi pangan akan tetapi
konsep ini sangat terorganisir dan melingkupi banyak aspek mulai dari pengaturan lokasi permukiman penduduk, lokasi
kegiatan produksi, lokasi pusat pelayanan, konektivitas desa-kota, pemasaran,
mekanisasi hingga jaringan prasarana.
Dalam
tiap sistematika model pembangunan tentu memiliki hambatan. Pengembangan kawasan agropolitan
memiliki kesulitan dalam hal elastisitas dengan kondisi masyarakat. Pasalnya, masyarakat
kawasan perdesaan umumnya tidak mengenyam pendidikan tinggi sedangkan
pembentukan agropolitan membutuhkan SDM dengan keahlian tinggi. Selain itu, masyarakat
tidak mudah menerima konsep baru yang dinilai bertentangan dengan sistem
tradisional setempat yang sudah diterapkan sejak dulu. Maka bersamaan dengan
menggalakkan gerakan desa agropolitan massal di Indonesia perlu dibarengi
dengan kegiatan bina desa serta penyuluhan intensif.
Membangkitkan
Indonesia melalui sektor pertanian di desa adalah keniscayaan. Meredam
kegentingan konversi lahan adalah yang seharusnya menjadi upaya nasional. Sudah
saatnya bangsa yang kaya akan sumber daya alam ini tidak menggantungkan pangan
dengan hasil impor dan lekas mengembalikan desa sesuai dengan jalur fitrahnya.
Konsep agropolitan datang untuk mengulang sejarah prestasi swasembada pangan di
rezim Soeharto, membebaskan masyarakat dari kemiskinan serta mengubah mindset masyarakat bahwa sektor
pertanian adalah sektor yang menjanjikan seperti yang sering dikabarkan Allah
SWT dalam rancangan firman-Nya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar