Jumat, 08 Desember 2017

Gerakan Desa Agropolitan Massal dalam Meredam Kegentingan Konversi Lahan Pertanian di Indonesia


(Tulisan ini telah dibukukan dalam "Wacana Mahasiswa Pascasarjana IPB untuk Pertanian dan Pedesaan Indonesia" oleh IPB Press)


Pedesaan dan pertanian merupakan dua hal konformitas yang tidak bisa dipisahkan. Sebagaimana definisi pedesaan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 bahwa kawasan pedesaan merupakan kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian. Dari definisi ini menjelaskan secara absolut bahwa desa tidak lagi memiliki legalitas untuk disebut sebagai kawasan pedesaan apabila memiliki kegiatan utama bukan yang berprospek di bidang pertanian.

Dalam 10 tahun terakhir terjadi kemunduran yang eksplisit di rana pembangunan pertanian Indonesia. Pedesaan berangsur-angsur kehilangan fungsi muasalnya sebagai penyokong hasil pertanian dan juga sebagai mitra perwujudan kedaulatan pangan. Artinya, mulai bermunculan wilayah berstatus administratif desa namun hakikatnya tidak berasaskan ciri kawasan pedesaan. Kawasan bermanuskrip “tanpa nama” seperti ini biasanya cenderung berada dalam zona perbatasan desa dan kota dimana ekspansi kota yang sarat dengan desakan lahan menjadi sangat kuat terhadap wilayah sekitarnya.

Hal yang dapat meredam sedikit kekhawatiran dari kemunduran aset pertanian ini yakni kenyataan bahwa Indonesia yang disematkan dengan sebutan “Negara Agraris” ini masih merupakan salah satu dari 25 negara dengan kekayaan aset pertanian terbesar di dunia. Kekayaan ini dilandaskan pada luas daratan wilayah Indonesia yang merupakan penyuplai 1,5% dari total luas daratan di bumi. Maka pada dasarnya, objek kekayaan pertanian nomor satu di indonesia adalah ketersediaan lahan.

Akan tetapi, ketersedian lahan pertanian justru mengalami penyusutan dari tahun ke tahun khususnya di daerah Jawa. Data BPS menyebutkan bahwa dalam setiap tahun terjadi kehilangan lahan pertanian di Indonesia hingga mencapai 80-100 ribu hektar. Stagnansi luas lahan pertanian di beberapa daerah pun bukan menjadi sebuah kabar baik karena kebutuhan pangan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang signifikan.

Kegentingan konversi lahan yang terus mengancam stabilitas ekonomi sangat berdampak besar pada intensitas masa dan kuantitas kebutuhan impor di Indonesia yang semakin jauh dari harapan kemandirian pangan, padahal jenis kriminalitas konversi lahan ini telah diatur dalam regulasi UU Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan sejumlah aturan turunannya yang diterbitkan pada tahun 2012. Namun lahan pertanian masih saja marak dialih-fungsikan menjadi kawasan industri, lapangan golf, perumahan real estate dan pabrik. Pemerintah gagal menjaga komitmen tata ruang.

Sayangnya, data luas lahan pertanian berbanding lurus dengan jumlah sumber daya petani. Berdasarkan data Kementerian Pertanian RI, telah terjadi pergeseran tenaga kerja pertanian ke non-pertanian lebih dari lima persen tiap tahunnya. Minat masyarakat untuk menjadi petani semakin merosot sehingga profesi ini dapat mencapai kepunahan akibat kurangnya generasi penerus petani. Selain itu, lulusan jurusan ataupun lembaga pendidikan tinggi pertanian cenderung memilih bekerja di sektor non-pertanian. Di beberapa daerah di Indonesia, menjadi petani tidak lagi menjanjikan kesejahteraan. Alhasil petani yang didalam dirinya terbentuk pola pikir seperti ini akan dengan sangat mudah melakukan transaksi serah lahan kepada investor.

Dari pengkajian berbagai problematika tersebut mengindikasikan bahwa perlu dilakukan upaya penanganan yang tepat sasaran. Sejauh ini, pemerintah telah menfokuskan kinerja pembangunan sektor pertanian dengan meningkatkan penggunaan alat mesin pertanian (Alsintan) yang mempercepat waktu budidaya tanaman, minimalisasi tenaga kerja, serta lahan. Teknologi dianggap mampu meningkatkan hasil pertanian sekalipun lahan dan SDM tidak lagi memadai. Menariknya tidak satu pun negara-negara maju di dunia ini yang menggantungkan sektor pertaniannya pada lini mekanisasi. Maka, satu-satunya solusi untuk mencapai stabilitas pertanian adalah dengan menerapkan sebuah konsep pendekatan pembangunan pertanian secara menyeluruh baik dari aspek lahan, SDM, hingga tekhnologi di wilayah dengan status fungsional “penyokong hasil pangan”- desa.

Penggalakan Pendekatan Agropolitan Secara Terukur, Analisatif dan Massif dapat Menekan Kegentingan
Persoalan Pertanian di Indonesia (Source : Google Image)
Konsep agropolitan merupakan sebuah konsep menata ruang pertanian sebagai aktivitas pembangunan yang berkonsentrasi di wilayah perdesaan secara terpadu dan berkelanjutan. Agro berarti pertanian dan politan berarti kota, sehingga agropolitan adalah kota pertanian. Dalam konsep agropolitan yang dicetuskan oleh Friedmann dan Douglass (1976) ini sebenarnya bertumpu pada memodifikasi kawasan desa sehingga memiliki kelayakan infrastuktur dan lapangan pekerjaan seperti halnya dikota tanpa mengubah wajah desa itu sendiri yakni tetap berbasis pertanian. Pertanyaannya, relevankah jika konsep agropolitan ini diterapkan di seluruh wilayah pedesaan di Indonesia?

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi alasan relevannya konsep agropolitan jika diterapkan di Indonesia meliputi aspek fisik wilayah yang bersubstansial agraris, sumber daya manusia dengan skill pertanian yang mumpuni serta berdasarkan problematika kesenjangan desa dan kota yang menjadi bukti bahwa butuhnya desa dengan upaya kebangkitan ekonomi tanpa harus mengganti hakikat pedesaan menjadi area industri berat atau tanpa harus menggencarkan aktifitas rantauan ke kota.

Sejauh ini, beberapa wilayah desa di Indonesia mulai mengilhami titik awal konsep agropolitan dalam membangun desa. Seperti misalnya Kabupaten Magelang yang melakukan pembangunan sektor pertanian, sektor industri berbasis pertanian dan sektor agrowisata sebagai tiga sektor unggulan yang disinergikan. Sinergi ketiga sektor tersebut melahirkan kegiatan ekonomi berbasis pertanian yang mampu meningkatkan kesejahateraan melalui jalur pertanian. Selain itu di Kabupaten Sidrap sebagai daerah pemasok produksi pangan terbesar di Sulawesi Selatan dimana pemerintah menggencarkan pembangunan desa menjadi kota-kota pertanian dalam rangka upaya untuk membantu mewujudkan program swasembada pangan Nasional.

Permulaan penerapan konsep agropolitan di beberapa wilayah di Indonesia mampu menekan angka konversi lahan pertanian. Dengan agropolitan, pertanian mulai dianggap sebagai sektor berkelas yang dapat meminimalisir angka kemiskinan di desa. Perlu diketahui bahwa konsep agropolitan tidak hanya menekankan pada peningkatan produksi pangan akan tetapi konsep ini sangat terorganisir dan melingkupi banyak aspek mulai dari pengaturan lokasi permukiman penduduk, lokasi kegiatan produksi, lokasi pusat pelayanan, konektivitas desa-kota, pemasaran, mekanisasi hingga jaringan prasarana.

Dalam tiap sistematika model pembangunan tentu memiliki hambatan. Pengembangan kawasan agropolitan memiliki kesulitan dalam hal elastisitas dengan kondisi masyarakat. Pasalnya, masyarakat kawasan perdesaan umumnya tidak mengenyam pendidikan tinggi sedangkan pembentukan agropolitan membutuhkan SDM dengan keahlian tinggi. Selain itu, masyarakat tidak mudah menerima konsep baru yang dinilai bertentangan dengan sistem tradisional setempat yang sudah diterapkan sejak dulu. Maka bersamaan dengan menggalakkan gerakan desa agropolitan massal di Indonesia perlu dibarengi dengan kegiatan bina desa serta penyuluhan intensif.

Membangkitkan Indonesia melalui sektor pertanian di desa adalah keniscayaan. Meredam kegentingan konversi lahan adalah yang seharusnya menjadi upaya nasional. Sudah saatnya bangsa yang kaya akan sumber daya alam ini tidak menggantungkan pangan dengan hasil impor dan lekas mengembalikan desa sesuai dengan jalur fitrahnya. Konsep agropolitan datang untuk mengulang sejarah prestasi swasembada pangan di rezim Soeharto, membebaskan masyarakat dari kemiskinan serta mengubah mindset masyarakat bahwa sektor pertanian adalah sektor yang menjanjikan seperti yang sering dikabarkan Allah SWT dalam rancangan firman-Nya.


 ***

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger