By the time! Man is surely in loss, except those
who believed and did good works, and exhorted one another to Truth and exhorted
one another to Patience (Qs. Al-Asr 1-3)
Di
antara banyaknya kita, sebenarnya siapa yang lebih “Cerdas”?
Pakar
tata bahasa, KBBI, para pendahulu, psikolog, engineer, media dan manusia-manusia macam kita (barangkali)
berpendapat selaras dan tidak begitu riskan berbeda, bahwa cerdas adalah
kemampuan intelektual dengan tingkatan diatas rata-rata, penguasaan numerik yang
mumpuni, cepat tanggap dan adaptasi, daya kuat bilingualism atau bahkan kemampuan menelikung uang negara tanpa
tercium oleh KPK. Seluruh kehebatan yang berjibaku dengan pemerasan kinerja
otak yang berintensitas langka, entah itu bersifat baik tak terperi ataupun licik
bukan main, demikianlah orang-orang yang dikatakan mengemban gelar “cerdas” di
dunia ini.
Tapi
ternyata, Allah SWT melalui Rasulullah SAW, para Nabi dan orang-orang Salafush
Shalih mengabarkan konsep valid tentang kata “cerdas” yang lebih luas dan nyata
berperadaban tinggi. Sebuah artifisial yang begitu menohok ulu hati bahwa
selama ini kita telah banyak dibutakan dengan sebuah pemikiran tentang
keharfiahan “cerdas, sukses, hebat, kaya, baik, dan kata-kata takzim semacamnya” dengan arti yang
begitu sempit, kasta rendahan dan juga fana.
“Wahai
Rasulullah, siapakah orang-orang yang paling cerdas?” Rasulullah lalu menjawab
“Yang paling cerdas diantara kalian adalah yang paling banyak mengingat mati
dan kemudian yang paling baik persiapannya menuju kematian itu sendiri” (HR
Ibnu Majah, Thabrani dan Al Haitsami)
Tawakkaltu ‘alallah! Dan biaslah
mentalitas seluruh pemahaman paradoks tentang siapa yang paling cerdas di
antara kebanyakan wajah. Yang paling banyak mengingat “kesudahan hidup ini” dan peduli pada persiapannya menuju Ilahi Robbi-lah yang paling mafhum disebut cerdas.
Lalu barulah kecerdasan visual, numerik, bahasa, finansial, emosional dan
semacamnya mengikut setelahnya. Tulisan ini bukan untuk mengakuisisi persoalan
adu stabilitas tentang siapa hebat siapa skakmat, juga bukan untuk bermonolog
menyuarakan sesuatu yang dipandang benar. Berpikir!!! Mengajak untuk
berpikir!!! Kalian tahu apa yang membedakan satu manusia dengan manusia lainnya
setelah tingkat ketakwaan? Ialah bagaimana ia berpikir, bagaimana tingkat ketidakacuhan,
keingintahuan, upaya untuk paham, terkesiap membuka pikiran, mata juga hati lalu
menerapkan hujjah pada dirinya
sendiri atas apa-apa saja yang menyia-nyiakan dirinya dan apa-apa yang
memuliakan hidupnya.
Kalian barangkali ketar ketir
kebosanan, mendapati timeline kalian telah dijejali ruah oleh makhluk-makhluk dengan
high mentality menyeru untuk datang
mendekati Allah, rayuan untuk mengingat mati, hasutan untuk prihatin pada
imoralitas umat juga undangan mengkaji Islam yang begitu kerap. Kebosanan pada
hal yang serupa dan itu-itu terus. Blog inipun sama saja. Menghujani
orang-orang dengan larangan untuk senang menikmati hidup lalu menyuruh bersusah
payah untuk sesuatu yang belum waktunya (katanya).
Please.. dengan khidmat
kukatakan jangan bosan dulu karena ini adalah bagian krusial yang ingin saya bagi.
Hikayatnya, banyak yang
menjebak dirinya sendiri pada konteks palsu “hijrah”. Mereka yang belum
memutuskan berhijrah ataupun yang sudah begitu tekun mendalami Islam, terkurung
pada sebuah pragmatis yang berbunyi “Mereka yang berhijrah, maka prioritas seluruh
elemen hidupnya berupa waktu, tenaga, pikiran dan seluruh daya upaya,
dikerahkan untuk beribadah kepada Allah sepanjang waktu, memutuskan kontak
dengan dunia yang melenakan dan tenggelam untuk keperluan akhirat saja.” Tabiat
paham yang overvalued inilah yang
membuat orang-orang yang belum berideologi Islam semakin tidak tertarik dan
orang-orang yang telah sami’na waa ato’na semakin kaku.
Pembahasan tadi kujelaskan
dengan perspektif seradikal mungkin, namun secara sederhananya barangkali
berbunyi seperti ini “Ketika orang-orang yang baru diselupi Islam dalam
hatinya, memutuskan untuk mengubah hidupnya di jalan Allah maka serta merta
mereka harus lansung say goodbye dengan
teman-teman yang tidak sevisi lagi dengannya, menutup seluruh akun sosial
media, membuang seluruh pakaian selemari, mengganti seluruh buku di rak belajar
dengan karya otentik berbau islam, meniadakan interaksi dengan lawan jenis atau
bahkan tidak memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk sekedar berlibur dan
bersuka cita. Kawanku yang baik, berhenti sekaku itu pada agama ini. Agama ini
tidaklah dipahami dengan keras seperti kawat. Tidak ada sedikitpun ajakan
mendekati Islam dengan meninggalkan seluruh fatamorgananya dunia.
Kalian
barangkali sudah berada di puncak kelu. Bertahanlah untuk sebentar lagi.
Please…
Prioritas dalam hidup ini
dibagi menjadi dua. Prioritas utama dan prioritas yang mengikuti. Keduanya
saling bergandengan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Barangkali bisa
kujelaskan sekenanya melalui ilustrasi seperti ini;
Source : Author’s illustration
|
Musibah terpelik adalah ketika
membolak balikkan fitrah posisi kedua prioritas diatas. Percaya apa kataku, “sungguh kita pasti akan
binasa jika melanggar fitrah”. Prioritas kedua dalam hidup yang mengancam remuk
redamnya interpretasi prioritas utama maka tinggalkan, putuskan dan jauhi
seperti kau sedang marathon. Valuable-nya Islam, sekalipun hal-hal
yang tergabung dalam “prioritas kedua” beresonansi pada rana “dunia”, maka
tetap harus dengan tujuan “mencari Ridho Allah.” Sangat struktural bukan?
Pikirkanlah sedikit lagi. Apa
yang menghalangimu untuk taat pada Dzat yang maha memberi nikmat? Jika kau
pikir Islam akan merenggut masa mudamu dengan keruwetan yang harusnya dipikirkan
nanti saja maka pikirkan ada berapa banyak mereka yang mati kena gulung sebelum
usia ¼ abad? Jika kau pikir Islam akan banyak membatasimu untuk mengekspresikan
jati dirimu maka sejujurnya kusuarakan dengan renyah, bahwa Islam
datang agar kesukaan tidak melenakan, agar kesenangan tidak membiuskan, agar
kegemaran tidak melalaikan dan agar kecintaan tidak membutakan. Aturan Allah SWT
dan Rasul-Nya justru akan mengendalikanmu, menjadi “protection” agar hatimu
mengerti batas.
Coba renungkan lamat-lamat
kembali, apa yang membuatmu bertahan dengan sholat yang berfrekuensi
sempoyongan, dengan hubungan paling ter-primitif didunia (pacaran), dengan
sumber rezeki yang mengundang murka Allah, dengan bacaan Al-Qur’an yang
terpatah-patah, dengan ketidakpedulian pada riuh rendahnya nasib umat, dengan
tata cara berbusana yang membuatmu kehilangan pamor di mata Allah? Apa yang
membuatmu begitu dilanda takjub pada anatomis ketidaktaatan hingga lupa
berpikir, lupa menggunakan akal, lupa memilah, lalai bermuhasabah, bangga
menyia-nyiakan usia, lupa hakikat kita diciptakan?
“Masuklah menjadi
bagian dari orang-orang yang berjalan kembali menuju Allah. Segera! Jangan
menunggu hingga jalan itu tidak dapat dilalui, atau tidak ada lagi orang yang
bisa memberi petunjuk ke jalan itu” (Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam Kitab
Sirrul Asrar)
Beberapa tulisan sebelumnya
saya begitu berhati-hati untuk menuliskan kalimat ber-klaim ajakan, takut
terkesan menggurui, beruntai-untai pada pemikiran tentang bagaimana jika kalian
berfikir “Ah, kamu yang dulu juga tidak jauh berbeda dari kebanyakan orang,
kamupun pernah tidak begitu peduli dengan shalatmu, memakai jins tanpa malu,
menyakiti orang lain, berhijab mode jahiliah, sibuk memperhatikan tampilan
sosial media, serabutan perhatiannya pada pacar, picik berkhianat, mengambil
hak yang bukan milik. Tapi akhirnya saya sadar bahwa pemikiran-pemikiran
tersebut sudah saatnya gulung tikar. Oleh karena jika saya diberi mandat untuk
menarik garis lurus perjalanan dari titik mula dimana saya beranjak, maka pastilah
kalian mendapati bahwa setiap hari dalam hidup saya terantuk-antuk pada
penyesalan mengapa dulu harus menjadi makhluk hasil tutorial sinetron dan buruknya
peradaban. Namun begitulah hidup ini ditasbihkan, kesalahan-kesalahan saya yang
berbukit-bukit yang sama sekali tidak terjangkau hukum namun rasanya saya
seperti perlu divonis berat atas sekulernya pandangan hidup dahulu.
Jadilah lebih cerdas akhi ukhti,
Jadilah lebih intelektual, cerdas
spiritual
Jadilah bagian dari umat yang berani
menunjukkan identitas muslimnya
dan masuklah ke dalam golongan pemuda
yang banyak mengingat mati namun tetap ksatria mencapai cita-cita dunia
Dari
saudaramu yang belum juga baik
Ipa
4 komentar:
Super sekali kakak, tapi toh pada bagian prioritas utama, yang nomor dua itu harusnya di tempatkan di nomor satu atau nomor 4. jadi bisa terlihat sekuensial prioritas tujuan hidup di Dunia. :)
Terima kasih telah mengunjungi blog yg miskin peminat dan uninteresting ini.. hahaha. Terima kasih untuk kritikannya chief.
Perlu saya jelaskan, bahwa sebenarnya saya hanya berfokus pada urutan "yg mana yg menjadi prioritas utama dan kedua dlm seluruh motilitas hidup". Adapun daftar yg terangkum dalam kedua prioritas diatas bersifat ekuilibrium atau setara terkecuali sub "Mencari Ridho Allah SWT" yang menurut hemat saya, dapat dikatakan berada dalam majelis paling tinggi. Chief pernah dengar bukan kisah seorang alim yang menghabiskan waktunya untuk beribadah sepanjang waktu dan juga menjadi bagian dalam perjuangan Islam namun ia bermasalah dalam rana yaumul hisabnya akibat Allah tidak ridho pada usaha dan niatnya. Wallahu 'alam bishawab.
Barangkali sy salah karena menampilkan ilustrasinya dengan menggunakan "angka 1,2,3,4 dst". Seharusnya saya menggunakan tanda poin2 saja sehingga tidak impulsif pada sebuah "urutan".
Dan satu hal lagi (haha..tak kalah krusial), dipanggil "kakak" oleh orang yang berdasarkan rentang usia pantas kuanggap "oldest brother" ini, rasa rasanya seolah saya memiliki penampilan yang sangat primitif. hahhaha but never mind. Kritikannya sungguh cerdas. Terima kasih :)
terxta anak2 blog ple! pantasan nd mw skli bikin instagram
wew haha instagram dan ngeblog tidak ada kaitannya. Soal ketidakinginan berinstagram barangkali bentuk pengendalian diri ji (hahah). Kalo soal ngeblog mngkin bawaan dri lahir, suka meliteraturkan curhat. wkwkw
Posting Komentar