Sabtu, 25 Februari 2017

Di Dunia, Tiada Pulang Senyaman ke Rumah

Kepulangan yang terpasti dalam siklus kehidupan semua manusia adalah berpulang kedekapan-Nya saat ujian dan masa berbekal telah dinyatakan selesai. Tapi di dunia, kukatakan kepulangan skala kecil ternyaman yang pernah ada adalah pulang ke dekapan keluarga dan kembali menginisiasi tempat masa kecil dihabiskan. Menikah atau belum menikah, sudah mapan pun masih serabutan, semua yang dinamakan pulang ke kampung halaman memiliki cita rasa yang sama. Terlebur semua kepenatan.

Rupa terkini rumah tempatku pulang di awal 2017

Rumah ini, bangunan yang kukatakan penuh peluh yang telah mengalami banyak modifikasi seiring waktu. Kalian percaya? saat duduk dibangku SD, dia masih berdinding papan tua dan beratap daun kelapa kering. Sayu sekali, saat berkah kiriman datang dari langit, baskon dan ember kecil ditata dimana mana. Tidak memiliki kamar mandi, hanya kanal kecil disamping rumah dan sumur milik tetangga. Makin beranjak ke tingkat kelas berikutnya di sekolah, dinding papan rumah menjadi semakin lapuk karena percikan hujan yang tidak bisa dihindari. Kala menulis ini, teringat lagi, Ipa adalah siswa yang saat SD adalah pemilik sepatu sobek terjelek di kelas, gendut melar tanpa kesan menggemaskan, tekun meminta jajan punya teman dan Duta Balala (*balala = pemakan segala yang memakan apapun yang bisa diolah didalam perut). Untungnya saya adalah pemilik peringkat I tak tergoyahkan dikelas, sehingga menjadi anak yang lumayan dihargai dikalangan teman-teman dan guru sekalipun seragam yang dikenakan sangat menyedihkan. Berwarna kuning pekat, seperti dicuci dengan deterjen pemutih lalu dibilas jus jeruk tiap minggu.

Dari awal kehidupan ini saya mengenal bagaimana konsep kebanyakan manusia kala menghargai sesama. Saat teman terlihat biasa-biasa saja (wajah kurang rupawan, cupu dalam pergaulan, kurang kaya lalu kurang jenius dalam pelajaran) maka keberadaannya dalam lingkungan sosial menjadi tersisip di daun pintu yang paling dalam. Zaman sekarang, manusia acapkali ramah luar biasa pada yang dianggapnya penuh kehebatan lalu remeh temeh pada yang tidak memiliki retorika bergaul yang mumpuni, uang lebih dan kecakapan akademik. Ini baru di dunia anak-anak dan remaja saat fase mengenyam pendidikan, orang dewasa akan lebih pretensi lagi, keramahan akan berbanding lurus dengan tinggi rendahnya pangkat.

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kalian dan perbuatan-perbuatan kalian.” (HR. Muslim)

Saya masih ingin menceritakan banyak kenangan mayapada di dalam rumah yang berada dalam wilayah administratif Kabupaten Bone ini. Saat saya dan kakak-kakak masih kecil-kecil, lampu dapur rumah ini selalu menyala lebih awal dari masjid subuh. Ibu adalah guru namun karena ketujuh anaknya memiliki usia sekolah yang berbaris pinang maka statusnya juga merangkap menjadi penyedia jajanan es lilin dan nasi kuning dua ribu rupiah di sekolah. Tahu kan? Pemerintah bangsa kita yang dulu kurang mengapresiasi eksistensi guru dalam tatanan APBD sehingga guru dibayar dengan gaji pokok yang rendah.

Saat menulis PR, saya, kak asmi dan kak ima kadang meringis sesekali. Tangan-tangan kami bertiga melepuh lepuh membungkus ratusan es lilin warna warni dengan benang jahit sebelum beranjak tidur malam hari. Hahaha saat ini saya sedang tidak berusaha menyeratakan diri dengan kehidupan Arai dan Lintang dalam tetralogi Laskar Pelangi. Mereka berdua tetap adalah pemilik masa sekolah tertangguh dalam catatan prosa yang pernah kubaca. Saya hanya suka mengulang-ngulang cerita serba pelik saya yang dulu agar bertambah rasa syukurku kepada-Nya.

Barulah saat Presiden Megawati Soekarno Putri mencetuskan gaji 13 sebagai subsidi tambahan bagi pendapatan PNS termasuk guru pada tahun 2010, papan-papan rumah diganti seluruhnya, engsel pintu-pintu ringkih di perbaiki, sedangkan atap daun kelapa kering sudah lebih dulu dilakukan pergantian kabinet menjadi atap larva panas di siang hari. Zaman-zaman SMP SMA, rumah ini sering sekali mengalami destruksi besar-besaran. Itulah mengapa tangan saya lumayan ahli dalam memaku dan memotong papan dengan gergaji. Sebenarnya gaji pokok guru sudah terbilang membaik sebelum pemerintahan Bu Megawati, namun kakak pertama dan kakak kedua melanjutkan kuliah ke Makassar secara bersamaan, kala itu semuanya berimbas pada segala aspek pengeluaran dirumah ini, termasuk nominal uang jajan anak dari urutan ketiga kebawah. Uang seribu rupiah dibagi tiga, saya kebagian tiga ratus perak. Tapi entah saat itu apa saya sudah paham tentang definisi syukur atau tidak, mudah-mudahan saya bersyukur.

Tentang metamorfosa bangunan ini, setelahnya saya sudah tidak begitu mengingat. Sepertinya kala kuliah S1, rumah ini dibangun bertingkat dengan perpaduan rumah kayu dan rumah batu, ruang kamar yang cukup dan dua kamar mandi. Jika yang dulunya rumah kayu sangat mendominasi, sekarang rumah kayunya sisa sepotong kue dibagian belakang. Tampak dari depan terlihat seperti rumah batu yang utuh. Barangkali bapak begitu mencintai kehangatan rumah kayu sehingga dia menolak titah Ibu yang merekomendasikan agar bangunan tak layak di lantai atas dibongkar sepenuhnya. Bagaimanapun rentetan revolusi rumah ini, dia tetap adalah tempat tertentram untuk bermuhasabah atas beragamnya aktifitas-aktifitas dan kualitas usia yang dihabiskan saat jauh dari rumah, apalagi beberapa langkah dari rumah ada masjid kecil yang resmi difungsikan pada tahun 2015 lalu. Jelas sekali adzan mendengung di telinga sekaligus membangun jiwa dalam lima waktu. Sangat ingin kukatakan masjid ini barangkali adalah perantara Allah SWT dalam menguak semangat religius lingkungan rumah dan tetangga-tetangga sekitar. Rasanya saya ingin membuat daftar “future plan” lagi, saat berumah tangga nanti, saya ingin rumahnya berada tidak jauh dari masjid, agar saya dan keluarga nantinya lebih mudah terpaut hatinya pada rumah Allah, pada dekapan rahmat-Nya.

Segala hal dalam hidup ini pasti akan menghadapi “masa selesai” termasuk kebersamaan dengan orang tua dan saudara dalam bangunan tempat menghabiskan masa kecil. Entah siapa yang lebih dulu meninggalkan dan ditinggalkan, entah bagaimana cara Allah memisahkan. Pernikahan, sekolah, usia dan kematangan pemikiran untuk maju adalah alasan-alasan tak terakui yang membuat perjumpaan di rumah masa kecil menjadi sedikit bias. Sedikit terkikis sebelum perpisahan permanen terjadi dengan jelas, namun menghargai setiap kesempatan pulang adalah keniscayaan, menyisihkan persentase perhatian untuk berbakti adalah kemutlakan.

Bu Suterah, Pak Rahman, empat orang kakak, dua orang adik. Manusia-manusia yang rupa dan jiwanya ditakdirkan dekat dengan nadiku di dunia, terima kasih banyak untuk kehadirannya termasuk kenangan membungkus es lilin dan rumah power rangers ini,


Tidak ada komentar:

Powered By Blogger