Kepulangan
yang terpasti dalam siklus kehidupan semua manusia adalah berpulang
kedekapan-Nya saat ujian dan masa berbekal telah dinyatakan selesai. Tapi di
dunia, kukatakan kepulangan skala kecil ternyaman yang pernah ada adalah pulang
ke dekapan keluarga dan kembali menginisiasi tempat masa kecil dihabiskan.
Menikah atau belum menikah, sudah mapan pun masih serabutan, semua yang
dinamakan pulang ke kampung halaman memiliki cita rasa yang sama. Terlebur
semua kepenatan.
Rupa terkini rumah tempatku pulang di awal 2017
Rumah
ini, bangunan yang kukatakan penuh peluh yang telah mengalami banyak modifikasi
seiring waktu. Kalian percaya? saat duduk dibangku SD, dia masih berdinding
papan tua dan beratap daun kelapa kering. Sayu sekali, saat berkah kiriman datang dari
langit, baskon dan ember kecil ditata dimana mana. Tidak memiliki
kamar mandi, hanya kanal kecil disamping rumah dan sumur milik tetangga. Makin
beranjak ke tingkat kelas berikutnya di sekolah, dinding papan rumah menjadi
semakin lapuk karena percikan hujan yang tidak bisa dihindari. Kala menulis
ini, teringat lagi, Ipa adalah siswa yang saat SD adalah pemilik sepatu sobek
terjelek di kelas, gendut melar tanpa kesan menggemaskan, tekun meminta jajan
punya teman dan Duta Balala (*balala = pemakan segala yang memakan apapun yang
bisa diolah didalam perut). Untungnya saya adalah pemilik peringkat I tak
tergoyahkan dikelas, sehingga menjadi anak yang lumayan dihargai dikalangan
teman-teman dan guru sekalipun seragam yang dikenakan sangat menyedihkan. Berwarna
kuning pekat, seperti dicuci dengan deterjen pemutih lalu dibilas jus jeruk
tiap minggu.
Dari
awal kehidupan ini saya mengenal bagaimana konsep kebanyakan manusia kala
menghargai sesama. Saat teman terlihat biasa-biasa saja (wajah kurang rupawan, cupu
dalam pergaulan, kurang kaya lalu kurang jenius dalam pelajaran) maka
keberadaannya dalam lingkungan sosial menjadi tersisip di daun pintu yang
paling dalam. Zaman sekarang, manusia acapkali ramah luar biasa pada yang
dianggapnya penuh kehebatan lalu remeh temeh pada yang tidak memiliki retorika
bergaul yang mumpuni, uang lebih dan kecakapan akademik. Ini baru di dunia
anak-anak dan remaja saat fase mengenyam pendidikan, orang dewasa akan lebih
pretensi lagi, keramahan akan berbanding lurus dengan tinggi rendahnya pangkat.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa
kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kalian dan
perbuatan-perbuatan kalian.” (HR. Muslim)
Saya
masih ingin menceritakan banyak kenangan mayapada di dalam rumah yang berada
dalam wilayah administratif Kabupaten Bone ini. Saat saya dan kakak-kakak masih
kecil-kecil, lampu dapur rumah ini selalu menyala lebih awal dari masjid subuh.
Ibu adalah guru namun karena ketujuh anaknya memiliki usia sekolah yang
berbaris pinang maka statusnya juga merangkap menjadi penyedia jajanan es lilin dan nasi kuning dua ribu rupiah di sekolah. Tahu kan? Pemerintah bangsa kita
yang dulu kurang mengapresiasi eksistensi guru dalam tatanan APBD sehingga guru
dibayar dengan gaji pokok yang rendah.
Saat
menulis PR, saya, kak asmi dan kak ima kadang meringis sesekali. Tangan-tangan
kami bertiga melepuh lepuh membungkus ratusan es lilin warna warni dengan benang jahit
sebelum beranjak tidur malam hari. Hahaha saat ini saya sedang tidak berusaha
menyeratakan diri dengan kehidupan Arai dan Lintang dalam tetralogi Laskar
Pelangi. Mereka berdua tetap adalah pemilik masa sekolah tertangguh dalam
catatan prosa yang pernah kubaca. Saya hanya suka mengulang-ngulang cerita
serba pelik saya yang dulu agar bertambah rasa syukurku kepada-Nya.
Barulah
saat Presiden Megawati Soekarno Putri mencetuskan gaji 13 sebagai subsidi
tambahan bagi pendapatan PNS termasuk guru pada tahun 2010, papan-papan rumah
diganti seluruhnya, engsel pintu-pintu ringkih di perbaiki, sedangkan atap daun
kelapa kering sudah lebih dulu dilakukan pergantian kabinet menjadi atap larva
panas di siang hari. Zaman-zaman SMP SMA, rumah ini sering sekali mengalami
destruksi besar-besaran. Itulah mengapa tangan saya lumayan ahli dalam memaku
dan memotong papan dengan gergaji. Sebenarnya gaji pokok guru sudah terbilang
membaik sebelum pemerintahan Bu Megawati, namun kakak pertama dan kakak kedua
melanjutkan kuliah ke Makassar secara bersamaan, kala itu semuanya berimbas
pada segala aspek pengeluaran dirumah ini, termasuk nominal uang jajan anak
dari urutan ketiga kebawah. Uang seribu rupiah dibagi tiga, saya kebagian tiga
ratus perak. Tapi entah saat itu apa saya sudah paham tentang definisi syukur
atau tidak, mudah-mudahan saya bersyukur.
Tentang
metamorfosa bangunan ini, setelahnya saya sudah tidak begitu mengingat. Sepertinya
kala kuliah S1, rumah ini dibangun bertingkat dengan perpaduan rumah kayu dan
rumah batu, ruang kamar yang cukup dan dua kamar mandi. Jika yang dulunya rumah
kayu sangat mendominasi, sekarang rumah kayunya sisa sepotong kue dibagian
belakang. Tampak dari depan terlihat seperti rumah batu yang utuh. Barangkali
bapak begitu mencintai kehangatan rumah kayu sehingga dia menolak titah Ibu
yang merekomendasikan agar bangunan tak layak di lantai atas dibongkar
sepenuhnya. Bagaimanapun rentetan revolusi rumah ini, dia tetap adalah tempat tertentram
untuk bermuhasabah atas beragamnya aktifitas-aktifitas dan kualitas usia yang
dihabiskan saat jauh dari rumah, apalagi beberapa langkah dari rumah ada masjid
kecil yang resmi difungsikan pada tahun 2015 lalu. Jelas sekali adzan
mendengung di telinga sekaligus membangun jiwa dalam lima waktu. Sangat ingin
kukatakan masjid ini barangkali adalah perantara Allah SWT dalam menguak
semangat religius lingkungan rumah dan tetangga-tetangga sekitar. Rasanya saya
ingin membuat daftar “future plan” lagi, saat berumah tangga nanti, saya ingin
rumahnya berada tidak jauh dari masjid, agar saya dan keluarga nantinya lebih
mudah terpaut hatinya pada rumah Allah, pada dekapan rahmat-Nya.
Segala
hal dalam hidup ini pasti akan menghadapi “masa selesai” termasuk kebersamaan
dengan orang tua dan saudara dalam bangunan tempat menghabiskan masa kecil.
Entah siapa yang lebih dulu meninggalkan dan ditinggalkan, entah bagaimana cara
Allah memisahkan. Pernikahan, sekolah, usia dan kematangan pemikiran untuk maju
adalah alasan-alasan tak terakui yang membuat perjumpaan di rumah masa kecil
menjadi sedikit bias. Sedikit terkikis sebelum perpisahan permanen terjadi
dengan jelas, namun menghargai setiap kesempatan pulang adalah keniscayaan,
menyisihkan persentase perhatian untuk berbakti adalah kemutlakan.
Bu
Suterah, Pak Rahman, empat orang kakak, dua orang adik. Manusia-manusia yang
rupa dan jiwanya ditakdirkan dekat dengan nadiku di dunia, terima kasih banyak
untuk kehadirannya termasuk kenangan membungkus es lilin dan rumah power
rangers ini,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar