Tidak
lagi sebatas kabar burung belaka. Status berita penghapusan tenaga honorer yang
belakangan ini simpang siur telah menanjaki fase terverifikasi. Pemerintah
telah memastikan akan memberlakukan peniadaan tenaga honorer terhitung mulai tanggal 28 November 2023.
Kepastian ini dituangkan dalam surat Menteri
PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan
Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam surat keputusan tersebut
menjabarkan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) terdiri atas dua jenis antara
lain PNS dan PPPK. Sedangkan tenaga honorer akan dihapuskan dan diganti dengan
sistem outsourcing.
Dalihnya, peniadaan tenaga honorer adalah jalan
keluar untuk meningkatkan kesejahteraan atau dengan kata lain, sebagai
pemecahan atas problem ketidaklayakan upah yang diberikan kepada pegawai non
ASN.
Dikutip dari situs republika.co.id, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo menyatakan, bahwa selama ini tenaga honorer direkrut dengan sistem yang tidak jelas,
sehingga mereka kerap mendapat gaji di bawah upah minimum regional (UMR).
Lanjutnya, dengan
penghapusan tenaga honorer pada 2023 mendatang, maka keberadaan pekerja bisa
ditata di setiap instansi dengan model pengangkatan tenaga non ASN melalui
sistem outsourcing. Adapun pengadaannya harus sesuai dengan
kebutuhan serta memberikan jaminan penghasilan layak sesuai UMR.
Tidak hanya itu, untuk meyakinkan masyarakat agar tangkisan
perlawanan meredam, pemerintah mengadang-adang perekrutan besar-besaran CPNS
dan PPPK tahun 2022 dan 2023.
Kini, mari memonitori data. Dari pendataan resmi KemenPAN-RB, pada tahun 2018-2020, sebanyak
438.590 THK-II (tenaga honorer kategori II) mengikuti seleksi CASN (CPNS dan
PPPK). Per Juni 2021 (sebelum pelaksanaan seleksi CASN 2021), terdapat sisa
THK-II sebanyak 410.010 orang.
Itu artinya masih ada sebanyak 410.010 tenaga honorer
saat ini yang terdiri atas tenaga pendidik sebanyak 123.502, tenaga kesehatan
4.782, tenaga penyuluh 2.333, dan tenaga administrasi sebanyak 279.393.
Nominal sebesar 400 ribuan ini hanya melingkupi tenaga
honorer kategori K-II. Tentu tenaga honorer non K-II jauh lebih banyak lagi.
Pertanyaan besarnya, berapa kuota penerimaan CASN
yang akan pemerintah siapkan untuk tenaga honorer? Dengan kondisi perekonomian negara
yang makin antah berantah, apakah memungkinkan kuota perekrutan setidaknya akan
meng-cover 50% dari jumlah total tenaga honorer diseluruh pelosok negeri?
Sistem outsourcing yang akan diberlakukan di setiap instansi menurut
ketentuan regulasi juga bukan opsi jalan keluar hakiki. Sebab instansi dikenai
banyak pertimbangan dalam mempekerjakan tenaga non ASN, yakni harus sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan masing-masing instansi.
Sistem ini seolah memberikan arena perang bagi tenaga honorer untuk
memperebutkan ajang yang sedikit lalu menelantarkan ratusan ribu pekerja yang
unqualified.
Termiris, bagi tenaga pendidik dan kesehatan yang berstatus honorer
K-II dengan pengabdian selama belasan tahun namun belum ada kejelasan status
pengangkatan sebelum penghapusan tenaga honorer diberlakukan, tentu itu
merupakan kezholiman yang sangat besar. Bentuk penganiayaan tidak langsung.
Maka dalih meningkatkan kesejahteraan dengan melenyapkan
eksistensi tenaga honorer di tengah minimnya lapangan pekerjaan adalah dua hal
yang amat tidak sehaluan. Sulit disambatkan.
Meski pada faktanya, sistem pengadaan tenaga honorer memang
tidak memiliki jalur penerimaan dan ketetapan upah yang baku, namun sangat
riskan jika itu dijadikan sebagai batu loncatan dikeluarkannya regulasi
penghapusan tenaga honorer berdalih penataan pegawai di setiap instansi.
Kebijakan tersebut justru telak maksimal menunjukkan
ketidakberdayaan pemerintah dalam kepengurusan pengaturan tenaga kerja dan
menyejahterahkan rakyatnya.
Tidak ditampik, ikhtiar mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhan hidup memang adalah tanggung jawab masing-masing individu terkhusus bagi
pengayom keluarga, namun negara memiliki kewajiban untuk menyediakan lapangan
kerja seluas-luasnya bagi rakyatnya.
Sayangnya, mendambakan keadilan di tengah naungan sistem
bernegara seperti kini mutlak hanya akan berakhir menjadi konsepsi fiktif saja.
Perekenomian berfundamen kapitalisme nyata membabat habis kekayaan sumber daya
alam, ditambah dengan sistem perpolitikan yang sudah sangat jauh dari cita-cita
dasar meri’ayah umat.
Pemisahan pengkategorian pegawai (honorer dan ASN) ternyata sama
sekali tidak dikenal dalam sistem Islam. Sebab pangkal dari
pemisahan tersebut hanya akan berujung pada diskriminasi. Perekrutan pegawai
disesuaikan dengan kebutuhan riil yang telah dikonsepsi matang-matang oleh
negara, lalu pegawai akan mendapatkan upah sesuai dengan nilai manfaat yang
diberikan pekerja terhadap si pemberi kerja.
Dalam ketentuan hukum syara’, tidak ada perbedaan perlakukan terhadap
pekerja pemerintah. Perbedaan upah mereka hanya didasarkan pada faktor jenis
sektor dan jenis profesi, bukan status kepegawaian.
Menyoal kelayakan upah dalam sistem islam tentu
dapat dengan mudah diduga seberapa besar potensi layaknya. Sebab seluruh kebijakan
negara selalu berfokus pada terealisasinya aturan-aturan rahmatan lil alamin di
segala dimensi kehidupan bernegara. Baik dari segi pengelolaan sumber daya alam
hingga kepada pola pemerintahannya.
Dalam pusaran persoalan tenaga honorer yang tidak pernah mengindera
penyelesaian, tulisan ini tidak dalam rangka terus-terusan menjadikan
pemerintah sebagai kambing hitamnya.
Namun jika kita ingin dengan jujur mengurai benang kusut seluruh
persoalan negeri khususnya polemik tenaga honorer ini, maka siapa lagi pihak
yang paling berdaya untuk menggarap kebijakan selain pihak yang duduk di kursi kuasa?
Merekalah pemegang kunci perdana. Maka target dakwaan sudah sewajarnya kesana.
Memang tidak mudah menjadi pengurus negara, tapi setiap tahun tetap
banyak yang berlomba-lomba. Maka, ambisi menduduki jabatan kekuasaan haruslah
setotalitas ketika dihadapkan kepada kepengurusan rakyat dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar